Penyusun:
Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Pembahasan
kali ini merupakan perinciaan dari artikel-artikel sebelumnya yang membahas
tentang masalah jilbab muslimah yang sesuai syari’at sekaligus jawaban atas
berbagai komentar yang masuk.
Jilbab merupakan bagian dari syari’at yang penting untuk dilaksanakan oleh
seorang muslimah. Ia bukanlah sekedar identitas atau menjadi hiasan semata dan
juga bukan penghalang bagi seorang muslimah untuk menjalankan aktivitas
kehidupannya. Menggunakan jilbab yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah wajib dilakukan oleh setiap muslimah, sama seperti
ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa yang diwajibkan bagi setiap muslim.
Ia bukanlah kewajiban terpisah dikarenakan kondisi daerah seperti dikatakan
sebagian orang (karena Arab itu berdebu, panas dan sebagainya). Ia juga bukan
kewajiban untuk kalangan tertentu (yang sudah naik haji atau anak pesantren).
Benar
saudariku… memakai jilbab adalah kewajiban kita sebagai seorang muslimah. Dan
dalam pemakaiannya kita juga harus memperhatikan apa yang telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti telah disebutkan
pada artikel sebelumnya, terdapat beberapa persyaratan dalam penggunanan jilbab
yang sesuai syari’at. Semoga Allah memudahkan penulis memperjelas poin-poin
yang ada dalam artikel sebelumnya.
DEFINISI
JILBAB
Secara
bahasa, dalam kamus al Mu’jam al Wasith 1/128, disebutkan bahwa
jilbab memiliki beberapa makna, yaitu:
- Qomish (sejenis jubah).
- Kain yang menutupi seluruh
badan.
- Khimar (kerudung).
- Pakaian atasan seperti milhafah
(selimut).
- Semisal selimut (baca:
kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya.
Adapun
secara istilah, berikut ini perkataan para ulama’ tentang hal ini.
Ibnu
Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab menurut bahasa Arab yang
disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pakaian yang
menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.” Sedangkan Ibnu Katsir
mengatakan, “Jilbab adalah semacam selendang yang dikenakan di atas khimar
yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar (kain penutup).” (Syaikh Al
Bani dalam Jilbab Muslimah).
Syaikh
bin Baz (dari Program Mausu’ah Fatawa Lajnah wal Imamain) berkata, “Jilbab
adalah kain yang diletakkan di atas kepala dan badan di atas kain (dalaman).
Jadi, jilbab adalah kain yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala, wajah
dan seluruh badan. Sedangkan kain untuk menutupi kepala disebut khimar. Jadi
perempuan menutupi dengan jilbab, kepala, wajah dan semua badan di atas kain
(dalaman).” (bin Baz, 289). Beliau juga mengatakan, “Jilbab adalah rida’
(selendang) yang dipakai di atas khimar (kerudung) seperti abaya (pakaian
wanita Saudi).” (bin Baz, 214). Di tempat yang lain beliau mengatakan, “Jilbab
adalah kain yang diletakkan seorang perempuan di atas kepala dan badannnya
untuk menutupi wajah dan badan, sebagai pakaian tambahan untuk pakaian yang
biasa (dipakai di rumah).” (bin Baz, 746). Beliau juga berkata, “Jilbab
adalah semua kain yang dipakai seorang perempuan untuk menutupi badan. Kain ini
dipakai setelah memakai dar’un (sejenis jubah) dan khimar (kerudung kepala)
dengan tujuan menutupi tempat-tempat perhiasan baik asli (baca: aurat) ataupun
buatan (misal, kalung, anting-anting, dll).” (bin Baz, 313).
Dalam
artikel sebelumnya, terdapat pertanyaan apa beda antara jilbab dengan hijab.
Syaikh Al Bani rahimahullah mengatakan, “Setiap jilbab adalah hijab,
tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang tampak.” Sehingga
memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab. Adapun makna lain
dari hijab adalah sesuatu yang menutupi atau meghalangi dirinya, baik berupa
tembok, sket ataupun yang lainnya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Ahzab ayat 53, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diberi
izin… dan apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepda mereka (para istri
Nabi), maka mintalah dari balik hijab…”
SYARAT-SYARAT
PAKAIAN MUSLIMAH
1.
Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ
أَدْنَى أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا…
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya…”
(QS. An Nuur: 31)
Tentang
ayat dalam surat An Nuur yang artinya “kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya”, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sehingga
membawa konsekuensi yang berbeda tentang hukum penggunaan cadar bagi seorang
muslimah. Untuk penjelasan rinci, silakan melihat pada artikel yang sangat
bagus tentang masalah ini pada artikel Hukum Cadar di www.muslim.or.id.
Dari
syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah untuk menutup seluruh
badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka, sangat menyedihkan ketika
seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab, tapi dapat kita lihat rambut yang
keluar baik dari bagian depan ataupun belakang, lengan tangan yang terlihat
sampai sehasta, atau leher dan telinganya terlihat jelas sehingga menampakkan
perhiasan yang seharusnya ditutupi.
Catatan
penting dalam poin ini adalah penggunaan khimar yang merupakan bagian dari
syari’at penggunaan jilbab sebagaimana terdapat dalam ayat selanjutnya dalam
surat An Nuur ayat 31,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan
hendaklah mereka menutupkan khimar ke dadanya.”
Khumur merupakan jamak dari kata khimar yang berarti
sesuatu yang dipakai untuk menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar
ini sering dilalaikan oleh muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai
jilbab saja atau hanya khimar saja. Padahal masing-masing wajib dikenakan, sebagaimana
terdapat dalam hadits dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat dalam surat Al Ahzab
di atas, ia berkata, “Yakni agar mereka melabuhkan jilbabnya. Sedangkan yang
namanya jilbab adalah qina’ (kudung) di atas khimar. Seorang muslimah tidak
halal untuk terlihat oleh laki-laki asing kecuali dia harus mengenakan qina’ di
atas khimarnya yang dapat menutupi bagian kepala dan lehernya.” Hal ini
juga terdapat dalam atsar dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
“Seorang
wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab dan
khimar.” (HR. Ibnu Sa’ad, isnadnya shahih
berdasarkan syarat Muslim)
Namun
terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause yang tidak ingin kawin
sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan jilbabnya, sebagaimana terdapat
dalam surat An Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ
نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ
بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih
baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.”
Ibnu
Abbas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata
“pakaian” pada ayat di atas adalah “jilbab” dan hal serupa juga dikatakan oleh
Ibnu Mas’ud. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Baihaqi). Dapat pula diketahui
di sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan sebelum jilbab adalah menutupi
dada. Lalu bagaimana bisa seseorang dikatakan memakai jilbab jika hanya
sampai sebatas leher? Semoga ini menjadi renungan bagi saudariku sekalian.
Berikut
ini contoh tampilan khimar dan jilbab. Khimar dikenakan menutupi dada. Setelah
itu baru dikenakan jilbab di atasnya. (warna, bentuk dan panjang pakaian dalam
gambar hanyalah sebagai contoh).
Catatan
penting lainnya dari poin ini adalah terdapat anggapan bahwa pakaian wanita
yang sesuai syari’at adalah yang berupa jubah terusan (longdress), sehingga ada
sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk menyambung-nyambung baju dan rok
agar dikatakan memakai pakaian longdress. Lajnah Daimah pernah ditanya tentang
hal ini, yaitu apakah jilbab harus “terusan” atau “potongan” (ada pakaian
atasan dan rok bawahan). Maka jawaban Lajnah Daimah, “Hijab (baca:
jilbab) baik terusan ataukah potongan, keduanya tidak mengapa (baca: boleh)
asalkan bisa menutupi sebagaimana yang diperintahkan dan disyari’atkan.”
Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin
Ghadayan sebagai anggota (Fatawa Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791,
Maktabah Syamilah). Dengan demikian, jelaslah tentang tidak benarnya anggapan
sebagian muslimah yang mempersyaratkan jubah terusan (longdress) bagi pakaian
muslimah. Camkanlah ini wahai saudariku!
2.
Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal
ini sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya…” Ketika jilbab dan pakaian wanita dikenakan agar
aurat dan perhiasan mereka tidak nampak, maka tidak tepat ketika menjadikan
pakaian atau jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan awal untuk menutupi
perhiasan menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul karena poin ini
terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja menggunakan jilbab dan
pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga yang cantik,
dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan berbagai
pernak-pernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun,
terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang tidak mengenakan jilbab
berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini
berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan para sahabat wanita di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian yang
berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar dari Ibrahim An Nakhai,
أنه كان يدخل مع علقمة و الأسود على أزواج النبي صلى الله عليه
و سلم و يرا هن في اللحف الحمر
“Bahwa
ia bersama Alqomah dan Al Aswad pernah mengunjungi para istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ia melihat mereka mengenakan mantel-mantel berwarna merah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf)
Catatan: Masalah warna ini berlaku bagi wanita. Adapun bagi pria,
terdapat hadits yang menerangkan pelarangan penggunaan pakaian berwarna merah.
Dengan
demikian, tolak ukur “Pakaian perhiasan ataukah bukan adalah berdasarkan ‘urf
(kebiasaan).” (keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi). Sehingga suatu warna atau
motif menarik perhatian pada suatu masyarakat maka itu terlarang dan hal ini
boleh jadi tidak berlaku pada masyarakat lain.
3.
Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang
termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ
رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ
وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua
kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya, suatu kaum yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengan cambuknya dan
wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang, baik karena tipis atau pendek
yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat (bergaya ketika berjalan, ingin
diperhatikan orang), kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga
dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan
demikian dan demikian.” (HR.
Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik)
Ambil
dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena ancamannya demikian keras
sehingga para ulama memasukkannya dalam dosa-dosa besar. Betapa banyak wanita
muslimah yang seakan-akan menutupi badannya, namun pada hakekatnya telanjang.
Maka dalam pemilihan bahan pakaian yang akan kita kenakan juga harus
diperhatikan karena sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr, “Bahan yang
tipis dapat menggambarkan bentuk tubuh dan tidak dapat menyembunyikannya.”
Syaikh Al Bani juga menegaskan, “Yang tipis (transparan) itu lebih parah
dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal).” Bahkan kita ketahui,
bahan yang tipis terkadang lebih mudah dalam mengikuti lekuk tubuh sehingga
sekalipun tidak transparan, bentuk tubuh seorang wanita menjadi mudah terlihat.
4.
Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain
kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah longgar, tidak
ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita muslimah. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid ketika ia diberikan baju
Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia
memberikan baju tersebut kepada istrinya. Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
“Perintahkanlah
ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju
itu masih bisa menggambarkan bentuk tubuh.”
(HR. Ad Dhiya’ Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Maka
tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan memakai rok, namun ternyata tetap
memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya. Maka jika pakaian tersebut telah
cukup tebal dan longgar namun tetap memperlihatkan bentuk tubuh, maka
dianjurkan bagi seorang muslimah untuk memakai lapisan dalam. Namun janganlah
mencukupkan dengan kaos kaki panjang, karena ini tidak cukup untuk menutupi
bentuk tubuh (terutama untuk para saudariku yang sering tersingkap roknya
ketika menaiki motor sehingga terlihatlah bentuk betisnya). Poin ini juga
menjadi jawaban bagi seseorang yang membolehkan penggunaan celana dengan alasan
longgar dan pinggulnya ditutupi oleh baju yang panjang. Celana boleh digunakan
untuk menjadi lapisan namun bukan inti dari pakaian yang kita kenakan. Karena
bentuk tubuh tetap terlihat dan hal itu menyerupai pakaian kaum laki-laki.
(lihat poin 6). Jika ada yang beralasan, celana supaya fleksibel. Maka,
tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih fleksibel lagi jika memang sesuai
persyaratan (jangan dibayangkan rok yang ketat/span). Kalaupun rok tidak
fleksibel (walaupun pada asalnya fleksibel) apakah kita menganggap logika kita
(yang mengatakan celana lebih fleksibel) lebih benar daripada syari’at yang
telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Renungkanlah wahai saudariku!
5.
Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Perhatikanlah
salah satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan tentang
wanita-wanita yang memakai wewangian ketika keluar rumah,
ايّما امرأةٍ استعطرتْ فمَرّتْ على قوم ليَجِدُوا رِيْحِها،
فهيا زانِيةٌٍ
“Siapapun
perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.”
(HR. Tirmidzi)
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الاخرة
“Siapapun
perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia menyertai kami dalam
menunaikan shalat isya’.” (HR.
Muslim)
Syaikh
Al Bani berkata, “Wewangian itu selain ada yang digunakan pada badan, ada
pula yang digunakan pada pakaian.” Syaikh juga mengingatkan tentang
penggunaan bakhur (wewangian yang dihasilkan dari pengasapan) yang ini lebih
banyak digunakan untuk pakaian bahkan lebih khusus untuk pakaian. Maka
hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan segala jenis bahan
yang dapat menimbulkan wewangian pada pakaian yang kita kenakan keluar, semisal
produk-produk pelicin pakaian yang disemprotkan untuk menghaluskan dan
mewangikan pakaian (bahkan pada kenyataannya, bau wangi produk-produk tersebut
sangat menyengat dan mudah tercium ketika terbawa angin). Lain halnya dengan
produk yang memang secara tidak langsung dan tidak bisa dihindari membuat
pakaian menjadi wangi semisal deterjen yang digunakan ketika mencuci.
6.
Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat
hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang wanita menyerupai laki-laki
atau sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja). Salah satu hadits yang
melarang penyerupaan dalam masalah pakaian adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,
ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و
المرأة تلبس لبسة الرجل
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan
wanita yang memakai pakaian pria.”
(HR. Abu Dawud)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam perkara lahir mengakibatkan
kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan.” Dengan menyerupai
pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan terpengaruh dengan perangai
laki-laki dimana ia akan menampakkan badannya dan menghilangkan rasa malu yang
disyari’atkan bagi wanita. Bahkan yang berdampak parah jika sampai membawa
kepada maksiat lain, yaitu terbawa sifat kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya
menyukai sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
Terdapat
dua landasan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi kita untuk menghindari
penggunaan pakaian yang menyerupai laki-laki.
- Pakaian tersebut membedakan
antara pria dan wanita.
- Tertutupnya kaum wanita.
Sehingga
dalam penggunaan pakaian yang sesuai syari’at ketika menghadapi yang bukan
mahromnya adalah tidak sekedar yang membedakan antara pria dan wanita namun
tidak tertutup atau sekedar tertutup tapi tidak membedakan dengan pakaian pria.
Keduanya saling berkaitan. Lebih jelas lagi adalah perkataan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Kawakib yang dikutip oleh syaikh Al Bani,
yang penulis ringkas menjadi poin-poin sebagai berikut untuk memudahkan
pemahaman,
- Prinsipnya bukan semata-mata
apa yang dipilih, disukai dan biasa dipakai kaum pria dan kaum wanita.
- Juga bukan pakaian tertentu
yang dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang
dikenakan oleh kaum pria dan wanita di masa beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
- Jenis pakaian yang digunakan
sebagai penutup juga tidak ditentukan (sehingga jika seseorang memakai
celana panjang dan kaos kemudian menutup pakaian dan jilbab di atasnya
yang sesuai perintah syari’at sehingga bentuk tubuhnya tidak tampak,
maka yang seperti ini tidak mengapa -pen)
Kesimpulannya,
yang membedakan antara jenis pakaian pria dan wanita kembali kepada apa yang
sesuai dengan apa yang diperintahkan bagi pria dan apa yang diperintahkan bagi
kaum wanita. Namun yang perlu diingat, pelarangan ini adalah dalam hal-hal yang
tidak sesuai fitrahnya. Syaikh Muhammad bin Abu Jumrah rahimahullah
sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al Bani mengatakan, “Yang dilarang adalah
masalah pakaian, gerak-gerik dan lainnya, bukan penyerupaan dalam perkara
kebaikan.”
7.
Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
Banyak
dari poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya menjadi terasa berat untuk
dilaksanakan oleh seorang wanita karena telah terpengaruh dengan pakaian
wanita-wanita kafir. Betapa kita ketahui, mereka (orang kafir) suka menampakkan
bentuk dan lekuk tubuh, memakai pakaian yang transparan, tidak peduli dengan
penyerupaan pakaian wanita dengan pria. Bahkan terkadang mereka mendesain
pakaian untuk wanita maskulin! Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan
dan meminta pertolongan untuk dijauhkan dari kecintaan kepada orang-orang
kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57]: 16)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Firman Allah, ‘Janganlah
mereka seperti…’ merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka….”
(Al Iqtidha, dikutip oleh Syaikh Al Bani)
8.
Bukan Pakaian Untuk Mencari Popularitas
“Barangsiapa
mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah
mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api
naar.”
Adapun
libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas) adalah setiap pakaian yang
dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik
pakaian tersebut mahal, yang dipakai seseorang untuk berbangga dengan dunia dan
perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk
menampakkan kezuhudan dan dengan tujuan riya. (Jilbab Muslimah)
Namun
bukan berarti di sini seseorang tidak boleh memakai pakaian yang baik, atau
bernilai mahal. Karena pengharaman di sini sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy
Syaukani adalah berkaitan dengan keinginan meraih popularitas. Jadi,
yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan memakainya. Karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala suka jika hambanya menampakkan kenikmatan yang telah Allah berikan
padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى
عَبْدِهِ
“Sesungguhnya
Allah menyukai jika melihat bekas kenikmatan yang diberikan oleh-Nya ada pada
seorang hamba.” (HR. Tirmidzi)
PENUTUP
Demikian
sedikit penjelasan tentang pengertian jilbab dan penjelasan dari poin-poin
tentang persyaratan jilbab muslimah yang sesuai syari’at. Saudariku… janganlah
kita terpedaya dengan segala aktifitas dan perkataan orang yang menjadikan
seseorang cenderung merasa tidak mungkin untuk menggunakan jilbab yang sesuai
syari’at. Ingatlah, bahwa sesungguhnya tidak ada teman di hari akhir yang mau
menanggung dosa yang kita lakukan. Hanya kepada Allahlah kita memohon
pertolongan ketika menjalankan segala ibadah yang telah disyari’atkan. Semoga
artikel ini juga dapat menjawab berbagai pertanyaan dan komentar yang masuk
pada artikel-artikel sebelumnya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
- Majalah Al Furqon, edisi 12
tahun III
- Jilbab Muslimah. Syaikh Al Bani. Pustaka At Tibyan
- Maktabah Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar